follow

Akhir Kisah Mbah Maridjan


Juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan, juga ikut menjadi korban tewas karena keganasan awan panas atau wedus gembel, Selasa (26/10) sore hari.

Kakek berusia 83 tahun tersebut ditemukan di rumah dalam keadaan tak bernyawa oleh relawan Tim SAR pada Rabu (27/10) 06.05 WIB. Ia ditemukan di kamar mandi rumahnya dalam keadaan sujud.

Jenazahnya bisa dikenali diawal evakuasi dengan tanda pakaaian batik dan sarung yang dikenakan sehari-hari. Namun, kepastian apakah jasad tersebut merupakan Mbah Maridjan masih dalam penanganan dokter ahli forensik Rumah Sakit Umum Pusat dr Sardjito.

Mbah Maridjan sempat dianggap sebagai sosok kontroversial. Saat Gunung Merapi meletus pada 2006, Imbauan pemerintah daerah dan bujukan aparat keamanan agar Mbah Maridjan turun mengungsi tak dihiraukan. Bahkan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X telah mengatakan agar perintah pemerintah dipatuhi. "Biarpun saya jadi Sultan, saya tunduk kepada keputusan pemerintah," kata Sultan saat Merapi meletus pada April 2006.

Juru kunci bergelar Mas Penewu Suraksohargo ini tetap bergeming. "Setiap orang punya tugas sendiri-sendiri. Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini," kata Mbah Maridjan saat itu.

Mbah Maridjan menjalankan tugasnya dalam kapasitasnya sebagai abdi dalem yang menganut istilah sendika dawuh (siap diperintah). Apapun yang diperintahkan raja adalah kewajiban yang harus dijalani, apapun risikonya.

Saat itu, Mbah Maridjan mengatakan, untuk turun, dia harus menunggu perintah Sultan Hamengku Buwono IX. Bagi masyarakat awam, tentu tidak masuk akal karena Sultan Hamengku Buwono IX sudah meninggal. Tapi bagi Mbah Maridjan, itu bukan hal mustahil karena bila bicara tentang Gunung Merapi dan Mbah Maridjan kita tidak bisa lepas dari cerita alam gaib yang berkuasa di kawasan Merapi.

Saat Gunung Merapi berubah status menjadi awas pada 25 Oktober 2010, Mbah Maridjan pun menolak mengungsi. “Lha saya di sini (di rumah) kerasan. Nanti kalau ada tamu ke sini malah kecele kalau saya pergi,” kata Mbah Maridjan saat ditemui di kediamannya, Senin (25/10).

Bagi Mbah Maridjan, tetap tinggal di rumah lebih aman dan nyaman. Bahkan dengan bertemu para tamu yang silih berganti datang menemuinya untuk meminta nasehat adalah hiburan baginya.

Maridjan menjadi juru kunci Gunung Merapi atas perintah Sultan Hamengku Buwono IX. Sebelumnya, tugas berat itu disandang ayahnya, Kerrtorejo, sejak 1950 hingga 1982. Sepeninggal sang ayah, Maridjan diberi kekancingan yang ditugaskan menunggu Gunung Merapi sejak 1983.

Tugas utama Mbah Maridjan sebagai juru kunci, sebagai pelaksana upacara sakral tahunan Labuhan Merapi, yaitu sebuah upacara pemberian sesaji kepada gunung Merapi setiap tanggalan Jawa 30 Rejeb.

Sebagai juru kunci Merapi, Maridjan pertama kali hanya menerima upah sebesar Rp 100 (seratus rupiah) pada 1974. Angka itu terus bertambah seiring dengan kenaikan pangkatnya. Upah itu ia terima dari Keraton. Uang bulanan tersebut mesti ia ambil dengan turun gunung setiap bulannya ke keraton yang berjarak sekitar 30 kilometer.

Usia Maridjan memang sudah senja. Tapi untuk urusan Merapi, ia akan banyak menjelaskan meski harus sabar saat mengorek keterangan darinya. Itupun, Maridjan akan bercerita dengan logika-logika sederhana.

Mbah Maridjan dikarunia 10 orang anak, dan kini hanya tinggal lima anaknya yang masih hidup. Lima orang yang lain, telah mendahuluinya. Maridjan memiliki 12 cucu dan tujuh cicit.


Artikel Terkait

By Djenggot with 0 comments

0 comments:

Leave a Reply